Saat Pembantu Memandikan Burung Majikan

Posted on

Saat Pembantu Memandikan Burung Majikan

Saat itu aku sedang diminta menjaga rumah adik, karena keluarganya akan pergi hingga sore dan Tinah tinggal di rumah, karena kondisi perutnya yang kurang baik. Menjelang keberangkatan keluarga adik, aku sudah datang di sana.
“Mas..Tinah di rumah, perutnya agak kurang beres. Mis yang tak bawa“, adikku memberi tahu.
“Oo..ya“, jawabku.

Tak berapa lama mereka telah berangkat. Aku bergegas memasukkan sepeda motor ke dalam rumah. Tinah lalu mengunci pagar. Aku masuk rumah lalu cepat – cepat duduk di depan komputer, browsing, karena suami adikku memasang internet untuk mendukung pekerjaannya. Mengecek cari info ini itu dan 10menit kemudian Tinah menyajikan segelas es teh untukku.

“Makasih ya Tin“, ucapku.
“Iya Pak..silakan diminum“, kata Tinah.
Pembantu – pembantu adikku memang dibiasakan memanggil “Pak“ pada saudara – saudara majikannya, padahal terdengar sedikit asing di telinga.

Tinah lalu kembali ke dapur, aku lalu meminum es tehnya, “Hah..segernya“, cuaca sedikit panas walau agak mendung. Tinah kembali memasuki ruang keluarga, merapikan mainan – mainan anak adikku. Posisi meja komputer dan mainan yang bertebaran di lantai selisih dua kotak. Semula aku belum ngeh akan hal itu. Semula mataku menatap layar komputer. Saat Tinah mulai memasukkan kembali mainan – mainan ke keranjang, baru aku menyadarinya.

Sesekali aku meliriknya. “Sedikit putih ternyata anak ini. Bodynya biasa aja sih, langsing dan kayaknya masih padat. Karena jarak kami yang lumayan dekat, maka ketika Tinah bersimpuh di lantai merapikan mainan di keranjang, otomatis kaosnya yang sedikit longgar memperlihatkan sebentuk keindahan yang terbungkus penutup warna biru.

Tinah jelas tidak tahu kenakalan mataku yang sedang menatap sebagian keindahan tubuhnya. “Andaikan aku…uhh..ngayal nih“. Tak terasa pen*sku mulai membesar, “Ke kamar mandi mbetulin posisi p***s nih..sambil kencing“. Komputer kutinggal dengan layar bergambar Maria Ozawa sedang diset*buhi di kamar mandi.

Aku lalu masuk kamar mandi, membuka jins dan ** lalu mengeluarkan p***s. Agak susah juga kencing dengan p***s yang sedikit tegang. “Lah..pintu lupa tak tutup“, aku terkejut. “Terlanjur..gak ada orang lain kok“, aku mendinginkan diri. Aku keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di depan komputer.

“Cari camilan di meja makan ah..jadi lapar“. Aku mencari apa yang bisa dimakan untuk menemani kesibukan nge net. “Ada roti sama biskuit nih..asyik“. Roti kusemir mentega dan selai kacang dan diatasnya kulapis dengan selai blueberry, “Hmm..enaknya. Nanti bikin lagi ah..masih banyak rotinya“. Rumah adikku tipe agak kecil, jadi jarak antar ruangan agak dekat.

Letak meja makan dengan kamar pembantu hanya 3meter – an. Kulihat dengan ujung mata, Tinah sedang di kamarnya entah beraktifitas apa. Selesai menyelesaikan semiran roti, aku kembali ke ruang keluarga yang melewati kamar pembantu dan kamar mandi mereka. 2detik aku dan Tinah bertatapan mata, tidak ada sesuatu, biasa saja. Kumakan roti sambil main lagi.

Terdengar gemercik air di belakang. Mungkin Tinah sedang mencuci perabotan dapur atau sedang mandi. “Belum ambil air putih nih..“, tak ada maksud apa – apa dengan suara air tersebut. Hanya kebetulan aku belum minum air putih, walau telah ada es teh. Aku ke ruang makan lagi dan mengambil gelas lalu menuju dispenser. Mata dan pikiran hanya tertuju pada air yang mengucur dari dispenser.

Baru setelah melewati kamar mandi pembantu ada yang special di sana. ”Lah..pintunya kok sedikit buka. Tin lupa dan sedang apa di dalam..moga gak mandi. Bisa dilaporin ngintip aku”. Masih tak terlihat kegiatannya, setelah tangan yang sedang menggapai gayung dan kaki yang diguyurnya baru aku ngeh..Tinah sedang mandi.

”Duhh..kesempatan sangat – sangat langka ini..tapi..kalo dia teriak dan nanti lapor adikku..bisa gawat bin masalah. Berlagak gak liat aja ahh”. Aku menutup pintu kaca ruang makan dan melewati kamar mandi Tinah. Tiba – tiba ”Ahh..ada kecoak..Hush..hush..Aduhh..gimana nih”, terdengar keributan di sana.

”He3x..ternyata dia takut kecoak toh”, aku tersenyum sambil pegang gelas saat melewati kamar mandi.
”Pak..Pak”, Tinah memanggilku.
”Walah..malah panggil aku. Gimana nih”.
”Tolong ambilkan semprotan serangga di gudang ya Pak..cepet ya Pak..atau..”, tidak terdengar lanjutan kalimatnya.

Sejak Tinah bersuara, aku sudah berhenti dan diam di dekat pintu kamar mandi.
”Atau..Bapak yang masuk pukul kecoaknya..mumpung masih ada”, lanjutnya.
Deg..”Ini..antara khayalan yang jadi nyata dan ketakutan kalo dilaporkan”, aku berpikir.

”Cepet Pak..kecoaknya di dekat kloset. Bapak masuk aja..nggak papa. Nggak saya laporin ke Bapak sama Ibu”, Tinah tahu keraguanku.
”Jangan ah..nanti kalo ada yang tau atau kamu laporin bisa rame”, jawabku.
”Nggak Pak..bener. Aduh..cepet Pak..dia mau pindah lagi”,

Tinah kembali meyakinkanku dan meminta aku cepat masuk karena kelihatannya si kecoak mau lari lagi.
”Ya udah kalo gitu. Bentar..ambil sandal dulu”.
Sambil tetap menimbang, take it or leave it. Aku menaruh gelas di meja makan lalu mengambil sandal untuk membunuh kecoak nakal itu.

Entah rejeki atau kesialan bagiku tentang kemunculannya.
”Aku masuk ya Tin”, masih ragu diriku.
”Masuk aja Pak”, Tinah tetap membujukku.
Kubuka pintu kamar mandi sedikit, lalu kuintip letak kecoaknya, belum terlihat. Pintu dibuka lebih lagi oleh Tinah.

Kepalanya sedikit terlihat dari balik pintu dan tangannya menunjuk letak kecoak,
”..tuh Pak mau lari lagi”.
Aku melihatnya dan mulai masuk. Tinah berdiri di balik pintu dengan menutupi sedikit bagian tubuhnya dengan handuk.

Terlihat pah*, pundak dan daging sus*nya. Serta rambut yang diikat di belakang kepalanya, walau hanya sedikit semua. Handuknya menutupi bagian pah* ke atas, perut hingga bagian d**a, warna biru, yang disangga tangan kirinya.Semua hal itu dari ekor mataku, karena fokusku pada sang kecoak.

”Memang mulus dan cukup putih”, masih sempat aku memikirkannya. Bagaimana tidak, jarak kami hanya 2 – 3 langkah, tidak ada orang lain lagi di rumah. ”Plak..plak”, kecoak pun mati dengan sukses. Aku guyur dengan air agar masuk ke lubang pembuangan.

Tanpa memikirkan lebih lanjut, aku lalu melangkah ke luar kamar mandi.
”Terima kasih ya Pak..sudah nolongin”.
”Oh..iya..”, sambil kutatap dia dan Tinah tersenyum.

”Bapak nggak cuci tangan sekalian..di sini saja”, tawar Tinah.
”Wah..ini. Makin bikin dag dig dug”. ”Emm..iya deh”.
Aku akan mencuci tangan dengan sabun, yang ternyata posisi tempat sabun ada di belakang tubuh Tinah.

Aku menengok ke belakang tubuhnya. Rupanya dia baru sadar, lalu mengambilkan sabun,
”Maaf Pak..ini sabunnya”.
Tinah mengulurkan sabun dengan tersenyum. Sabun yang sedikit basah berpindah dan tangan kami mau tidak mau bersentuhan.
”Makasih ya”, ujarku.

Aku mencuci tangan dan mengembalikan sabun padanya.
”Bapak nggak..sekalian mandi”, tanya Tinah.
”Waduh..tawaran apa lagi ini. Tambah gawat”.

”Iya..nanti di rumah”.
”Nggak di sini saja Pak?”.
”Kalo di sini yaa di kamar mandi depan”.

”Di kamar mandi ini saja Pak..”.
”Nggaklah..jangan. Di depan aja. Kalo di sini ya habis kamu mandi”.
”Maksud saya..sekalian sekarang sama saya. Hitung – hitung Bapak sudah nolongin saya”.

Matanya memohon. Deenngg, sebuah lonceng menggema di kepala. ”Ini ajakan yang membahayakan, juga menyenangkan”, pikirku.
”Bapak nggak usah mikir. Saya nggak akan bilang siapa – siapa. Ya Pak..di sini saja”, dia memahami kekhawatiranku.
”Emm..ya udah kalo kamu yang minta gitu”, jawabku.

Entah mengapa aku merasa canggung saat akan membuka kaosku. Padahal tidak ada orang lain. Aku buka jam tanganku dulu, lalu aku keluar dari kamar mandi dan kuletakkan di meja makan. Posisi Tinah masih tetap di belakang pintu, dengan tangan kanan menahan pintu agar tetap agak terbuka.

Kembali ke kamar mandi, kubuka kaosku dan kusampirkan di cantolan yang menempel di tembok.
”Pintunya nggak ditutup aja Tin ?”, tanyaku. Pertanyaanku sesungguhnya tidak memerlukan jawaban, hanya basa basi.
“Nggak usah Pak..kan nggak ada siapa – siapa”, jawab Tinah.

Lalu kubuka jinsku, kusampirkan pula. Sesaat aku masih ragu melepas kain terakhir penutup tubuhkku.
“Bapak nggak nglepas cel*na d*lem ?”, tanyanya.
“Heh..ya iya”, kujawab dengan nyengir.
Pen*sku sebisa mungkin kutahan tidak mengembang.

Sengaja kutatap matanya saat melepas ** – ku. Mata Tinah sedikit membesar. Kusampirkan juga ** – ku. Lalu dengan tenang Tinah menyampirkan handuk biru yang sedari tadi menutup sebagian tubuhnya. “Duh..pant*tnya masih ok. Pinggangnya tidak berlemak. Sabar ya nak..kita liat situasi dulu”, kataku pada sang p***s sambil kuelus.

Tinah lalu membalikkan badan. Cegluk, suara ludah yang kutelan. “Uhh..sus* yang masih bagus juga. Pent*lnya nggak terlalu besar, areolanya juga, warnanya pas..nggak item banget. Perutnya sedikit rata dan..hmm..rambut bawahnya hanya sedikit”. Mau tidak mau, pen*sku makin mengembang dan itu jelas dilihat Tinah.

Kembali sebisa mungkin kutahan perkembangannya. Tinah lalu menggosok gigi dahulu. Karena aku tidak membawa sikat gigi, hanya berkumur dengan obat kumur.
“Bapak saya mandiin dulu ya”, kata Tinah.
“Terserah kamu”, jawabku sambil tersenyum.

Tinah lalu mengambil segayung air, diguyurkan ke badan dari leher dan pundak. Mengambil lagi segayung, diguyurkan ke perut dan punggung ditambah senyum manisnya. Ia lalu meraih sabun, digosokkan ke leher; pundak; d**a dan tangan kananku.

Dibasahinya sabun dengan diguyur air lalu digosokkan ke tangan kiri; perut; p***s; bola – bolaku. “Uhh..gimana bisa nahan p***s nggak ngembang”. Bagaimana tidak, saat menggosok p***s dan bola – bolaku sengaja digosok dan di urutnya. Ditatapnya senj*ta kebanggaanku, lalu menatapku dan tersenyum.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum juga. Diambilnya lagi segayung air, sabun dibasahi dan sisanya diguyurkan ke pah* dan kaki lalu digosoknya. Sabun kemudian diletakkan di pinggir bak mandi, kemudian mengambil segayung air dan diguyurkan ke badan depanku.

Ambil segayung lagi dan diguyurkan lagi, tak lupa senj*taku dibersihkan dari sisa – sisa sabun. Sedikit dir*mas oleh Tinah. Kutahan keinginanku untuk membalas perlakuannya, “biar Tinah yang pegang kendali”.
“Balik badan Pak”, perintahnya.

Air diguyurkan ke punggung dan bagian bawah badanku. Digosoknya punggung; p****t; lalu pah* dan kaki sisi belakang. Bonusnya, kembali menggosok p***s dan bola – bolaku dan mer*masnya. “Duh..ni anak. Bikin senewen..sengaja membuat panas aku“.

Kembali air mengguyur tubuh belakangku, sebanyak 3x. Dibalikkan badanku lalu mengguyur senj*taku, digosok – gosoknya hingga sedikit memerah. Jantungku makin berdebar.
“Sudah selesai Pak“, kata Tinah.
“Makasih ya Tin“. “Emm..kamu mau tak mandiin juga ?“, kepalang basah, kutawarkan permintaan seperti dia tadi.

“Nngg..nggak usah Pak..ngrepoti Bapak“.
“Ya nggaklah..jadi imbang kan“.
Langsung kuambil segayung air lalu kuguyur ke tubuh depannya. Ia hanya menatapku. Kuambil lagi segayung. Lalu sabun yang tadi tergeletak di pinggir bak mandi kuambil dan aku basahi.

Kugosok leher; pundak; dan kedua tangannya. Kubasahi sabun lagi dan kugosokkan ke d**a; kedua s**u dan pent*lnya; serta perut. Kutatap matanya saat kugosok kedua gunungnya yang kumainkan sedikit p****l – pent*lnya. Tinah juga menatapku. Matanya mulai sedikit sayu. 1menit – an kumainkan p****l –pent*lnya, lalu sedikit kur*mas s**u kirinya. Bibirnya sedikit membuat huruf o kecil dan “ohh..hhmm“.

Kubasahi lagi sabun, dan kugosokkan ke pinggang; pah* dan kedua kakinya. v****a luar hanya kusentuh sedikit dengan sabun, takut perih dan iritasi nanti. Itupun sudah cukup membuat matanya makin meredup. Air segayung lalu kuguyurkan ke tubuhnya 2 – 3x.

Kugosok dan kur*mas sedikit keras dua gunungnya. Sedikit berguncang. Dua tangan Tinah memegang pinggir bak mandi, mulai erat. Kumainkan lagi p****l – pent*lnya. Aku merundukkan badan dan kukecup pucuk – pucuk bunganya bergantian. Tak perlu lagi ijin darinya. Tangan kiriku mengusap – usap lembut luar v*ginanya.

“Ouuh Paakk..“, Tinah mulai mend*sah.
Kukecup bibirnya lembut, “nanti dilanjut lagi“.
Matanya seakan bernada protes, tapi Tinah diam saja.

Kubalikkan tubuhnya, lalu kuguyur punggungnya sekarang. Sabun kugosokkan ke punggung; pinggang; p****t. Sabun kubasahi lagi lalu kugosokkan ke pah* dan kaki bagian belakang. Aku menyusuri tubuh depannya lagi dari pinggang belakangnya. Tinah sedikit menggeliat geli. Kutangkupkan dua tanganku di dua sus*nya.

Aku senang bermain – main di s**u yang bagus atau masih ok. Seluruh belakang lehernya aku c*um dan k*cup, begitu juga dua kupingnya dan kubisikkan
”kamu diam saja ya..cup”.
”Geli Paakk..”, Tinah mend*sah lagi.

Dua pucuk bunganya makin mengencang dan keras. Aku menyentil – nyentil, kuputar – putar seperti mencari gelombang radio. Dua tangan Tinah mencengkeram pah* depanku. ”Aahh..hmmppff”, er*ngnya. Tangan kananku mengambil segayung air, kuguyur ke tubuh depannya. Kali ini kuusap – usap v****a luarnya dengan tangan kanan, sedang yang kiri tetap di s**u kanan Tinah.

P*haku makin dicengkeramnya. Kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan seiring kec*pan dan c*umanku di belakang leher dan daun – daun telinganya. Sesekali aku menyentuh bib*r dalamnya. Terasa telah menghangat dan sedikit basah.
”Ppaakkk..oohhh”. Tubuhnya mulai menggeliat – geliat.

Jari tengah kanan kumasukkan sedikit dan kusentuhkan pada dinding atas v*ginanya, sedang jempol kananku kutekan – tekankan di l*bang kenc*ngnya.Aauugghhh Ppaakkk..eemmmppfff”. Kuku – kuku jemari Tinah terasa menggores dua pah* depanku.

”Kenapa Tinah..hmm..kamu sendiri yang memulai kan”, bisikku.
Tangan kiriku meraih kepalanya dan kupalingkan ke kanan, dan kutahan lalu kuc*um dengan nada 2 kecup 1 masukkan l*dah. Tinah terkejut, matanya sedikit membesar tapi kemudian ia menikmatinya. Ganti tangan kananku melakukan hal yang sama.

Tinah hanya bisa mengeluarkan suara yang tertahan ”nngg..emmppfftt..nnngggg”, begitu berulang. v****a dalamnya makin hangat dan basah. Secara tiba – tiba kuhentikan lalu kubalikkan badannya menghadapku. Kemudian aku sandarkan tubuhnya di bak mandi. Aku kemudian berjongkok dan mulai meng*cupi v*ginanya.

”Jjanggann Ppakk..jorok..”, dengan dua tangannya menahan laju kepalaku. Kutatap matanya dan ”sssttt..”, jari telunjuk kanan kuletakkan di bib*rnya. Dua tangannya kusandingkan di samping kiri dan kanan tubuhnya. Kukecup kecil, sekali dua kali.

Kemudian l*dahku mulai menjulur di pintu kenikmatan kami. Mataku kuarahkan menatapnya. Tinah agak malu rupanya, tetapi ada sedikit senyum di sana. Lidahku makin intens menyerang v****a luar dan dalamnya.
”Ssuuddaahh Pppaakk..aaaddduuuhh..oohhhh”, disertai geliat tubuh yang makin menjadi.

Karena tak tahan dengan seranganku, dua tangannya mer*mas dan sedikit menarik rambut dan kepalalu. Cairan lavanya makin keluar. Dua tanganku mendekap erat buah pant*tnya. J*ri tengah kiriku sesekali kumasukkan ke v****a dari belakang lalu kesentuhkan dan kutekan sedikit ke an*snya.

”Aammppuuunnn Pppaakkk..oouuuggghh..eeemmmpppfffs,,, Ssuudddaahhh..ooohhhh”, matanya agak membeliak ke atas dan kepala serta rambutku dir*masnya kuat. Lava kepuasan dirinya mengalir deras, rasanya gurih sedikit manis. Kudekap erat Tinah dengan kepalaku di v*ginanya dan pant*tnya kur*mas – r*mas. Kepalaku tetap diusap –usap oleh Tinah.

Ia menarik kepalaku dan menc*umnya ganas. Lambat laun Tinah dapat belajar dariku. Tangan kanannya mer*mas dan menarik – narik pen*sku.
”Panjang ya Pak”, tanya Tinah.
”Biasa kok Tin..pingin ya..”, godaku.

”Aahh Bapak..”, jawabnya dengan memainkan bola – bolaku. Tinah merundukkan tubuhnya lalu tangan kirinya memegang p***s dan menc*umnya. Mungkin ia belum pernah meng – *ral suaminya dulu sebab pen*sku hanya dic*um – c*um dan dir*mas – r*mas.
”Kamu mau ng*mut burungku Tin..kayak ng*mut permen lolly ? Tapi kalo belum pernah ya nggak usah..nggak pa – pa”.

Tinah menatapku dan kubelai rambutnya. Dengan wajah ragu didekatkannya pen*sku di bib*rnya. Tinah mulai membuka mulut, sedikit demi sedikit pen*sku memasuki mulutnya. Tinah menatapku lagi, meminta penjelasan langkah selanjutnya.

”Sekarang..kamu maju mundurkan dengan dipegang tanganmu. Yaa..gitu..oohh..hhmm”.
Rupanya muridku cepat mengerti penjelasan gurunya. Rambut dan kepalanya kubelai dan kur*mas – r*mas.
”Lalu..l*dahmu kamu puter – puter di kepala p***s atau di lubang kenc*ng yang bergaris panjang ituuu..yyyahhhh..sssuuudddaahh pppiiinnnttteeerrr kkkaaammuu Tttiinnnn”.

Kuangkat kepalanya dari pen*sku dan kami berc*uman dengan panas. Saling mer*mas s**u; p****t dan kel*min masing – masing. Lalu kubalikkan lagi tubuhnya menghadap bak mandi. Dua tangannya kuletakkan di pinggir bak mandi. Kembali aku bermain – main di gunung Tinah. Pen*sku yang telah panas dan meng*cung sekali kudekatkan ke v*ginanya.

Kuk*cup – k*cup pundak dan leher belakangnya. Ikat rambutnya aku lepas sehingga dirinya terlihat makin s*ksi kala mengg*liat – g*liat dan rambutnya tergerai ke sana kemari. Aku geser – geserkan p***s di pintu surgawinya, sengaja aku mempermainkan r*ngs*ngan pada Tinah.

”Oohh..Ppaakk..mmaassuukkkiinn..Pppaakkk”, pintanya.
”Kamu mau burungku kumasukkin..hmm.. ”.
”Iyyyaa..Pppaakkk..aaayyyoo Pppaakk..”, rint*hnya makin kencang.

Kumasukkan p***s pelan – pelan. ”Eemmppff..”, erangnya. Lalu kuhentakkan pelan hingga pen*sku terasa menyentuh dinding belakang.
”Ooouuggghh..Pppaakkkk..mentok Pppaakk”.
Aku menggerakkan tubuh pelan – pelan, kunikmati jepitan dinding – dindingnya yang masih kuat.tanganku tak henti bermain di d*danya.

Kumainkan irama di v*ginanya dengan hitungan 1 – 2 pelan 3 kuhentakkan dalam – dalam. Lalu tangan kananku meraih kepalanya seperti tadi dan kuc*um panas bib*rnya. Dinding v****a Tinah makin hangat dan banjir sepertinya. Dua tangannya mencengkeram erat pinggir bak mandi.

Sekarang tanpa hitungan, kumasuk keluarkan p***s cepat dan kuat. ”Oohh.. oohh…hhmmppffftt..”, er*ng Tinah berulang. Sedang aku sedikit menggeram dan
”oouugghhh..hhmmppff..mpekmu enaknya Tttiinn..”.
”Bbuurrruunnggg Bbbaapppakk jjjuugggaaa”.

Jarak pinggangku dan p****t Tinah makin rapat. Tangan kanan kuusap – usapkan di v*ginanya. Dalam kamar mandi hanya ada suara tetes air satu – satu serta d*sah, bunyi beradunya pah* dan p****t dan er*ngan kami.
”Pppaaakkk..sssaaayyyaa mmaaauu..ooohhh..”.
”Tttuunnggguu Tttiiinnn..aaakkkuuu jjjuuggggaa..Di dalam apa di llluuaarrr”, tanyaku.

”Dddaa lllammm aajjjaaa Pppaakkkk..oobbaattnyaa mmassihh aaddaa..”, jawab Tinah.
Mendengar itu serangan makin kufokuskan. Segala yang ada di tubuhnya aku r*mas. Dua tangan Tinah tak tahan di pinggir bak mandi dan mencengkeram pah* serta pant*tku. Bib*rku dicarinya lalu ”hhhmmmpppfffttt..”. Pant*tku dir*mas kuat – kuat.

Bib*rnya dilepas dariku dan ”ooouuggghhh..”, d*sah Tinah panjang. Lava yang hangat terasa mengaliri pen*sku yang masih bekerja. Kepalanya tertunduk menghadap air di bak mandi. Kudekap erat tubuh depannya. Kuk*cup dan kug*git leher belakangnya.

Lalu tangan kiriku meraih kepalanya dan kuc*um dalam – dalam. Dengan satu hentakan dalam kumuntahkan magma berkali – kali. ”Ooouugghhh Tttiinnaahhh..hhhmmm..”. kepalaku tertunduk di pundaknya dengan tangan kiri di s**u sedang yang kanan di v*ginanya. Lama kami berposisi seperti itu.

”Makasih ya Tin..kamu baik sekali. Enak banget tubuhmu”, kataku dengan membalikkan badannya dan kuc*um mesra bib*rnya. p***s kumasukkan lagi, masih ingin berlama – lama di hangatnya v****a Tinah.
”Saya yang terima kasih Pak. Sudah lama saya pingin tapi sama orang nggak kenal kan nggak mungkin Pak. Burung Bapak pas di mpek saya”, Tinah menjawab dan menc*um bib*rku pula.

”Mpekmu masih kuat nyengkeramnya..dan panas”. Kubelai – belai kepalanya, ”kok bisa kamu pingin ngajak main sama aku ? Malah aku yang takut kamu laporin”.
Sambil mengusap – usap punggungku, ”Tadi waktu saya bersihin mainan adik, saya liat gambar di komputer.

Terus waktu Bapak kenc*ng tadi kan lupa nutup pintu..keliatan burung Bapak yang agak gede pas keluar dari cel*na”.
”Oo gitu..nakal ya kamu. Bener kamu masih nyimpen obatnya ?”, sambil kucubit pipinya.
”Masih kok Pak..sisa yang dulu”, jawab Tinah.

Makin lama terasa pen*sku yang mengecil. Kuc*um dalam – dalam lagi bib*rnya,
”sekarang..mandi yang beneran”.
”Heeh..iya Pak”, Tinah menjawab sambil tersenyum manis. Ia lalu memelukku erat. Aku membalasnya dengan memeluk erat dan mengusap – usap punggung serta kepalanya.